Permasalahan
Dalam pelaksanaan undang-undang hak
cipta sebelumnya yaitu UU No. 19 Tahun 2002 menimbulkan berbagai permasalahan,
antara lain hasil ekonomi atau pendapatan yang dapat diraih para pencipta lagu
atau musik dan pemilik hak terkait di Indonesia sangat rendah dibandingkan
dengan beberapa negara lain. Padahal banyak pihak mengakui potensi Indonesia
sangat besar untuk mengembangkan produk berbasis hak cipta, khususnya di bidang
lagu atau music.
Saat ini perkembangan seni lagu atau
musik di Indonesia sangat pesat seiring dengan perkembangan media elektronik.
Grup musik Indonesia yang didominasi kaum muda atau remaja dengan lagu atau
musik yang dibawakannya ternyata tidak hanya diminati di dalam negeri,
melainkan juga di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunei
Darussalam. Dengan perkembangan ini seharusnya memberikan pendapatan yang
tinggi bagi para pencipta lagu atau musik serta pemilik hak terkait yang
memiliki hak ekonomi dalam bentuk royalti atas setiap pemutaran atau pementasan
ciptaan lagu atau musik beserta produk hak terkaitnya.
Berkurangnya pendapatan pencipta atau
pemilik hak terkait diakibatkan maraknya pelanggaran hak cipta seperti
pembajakan. Indonesia, sampai dewasa ini masih termasuk negara yang pelanggaran
HKI, termasuk hak cipta, sangat tinggi.
Permasalahan lainnya yaitu terdapat
celah hukum dan ketentuan yang belum diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Sebagai
contoh, ketentuan mengenai penggunaan lagu atau musik untuk nada sambung
pribadi (RBT). Dengan berkembangnya teknologi dan zaman seharusnya
undang-undang hak cipta bisa lebih mengakomodasi dan memahami hal tersebut,
tetapi kenyataannya masalah seperti LMK dan RBT belum terdapat pengaturannya
dengan jelas.
Sebagai suatu solusi atas permasalahan
dalam praktek pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2002 tersebut, UU Hak Cipta telah
memberikan pelindungan terhadap pemilik hak terkait. Oleh karena itu bagaimana
UU Hak Cipta memberikan pelindungan hukum terhadap hak ekonomi pemilik hak
terkait.
Pembahasan
Hak cipta merupakan salah satu dari Hak
Kekayaan Intelektual (HKI), yaitu hak untuk menikmati secara ekonomis hasil
dari suatu kreativitas intelektual. Objek yang diatur dalam HKI adalah karya
yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.
Hak cipta mempunyai peranan strategis
dalam mendukung pembangunan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Indonesia telah memberikan pelindungan
terhadap karya bangsa Indonesia yang dilindungi oleh hak cipta melalui
pembentukan undang-undang yang mengatur mengenai hak cipta. Pada 16 September
2014, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) yang
merupakan penggantian dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
Penggantian UU No. 19 Tahun 2002 dengan
UU Hak Cipta merupakan upaya sungguh-sungguh dari negara untuk melindungi hak
ekonomi dan hak moral pencipta dan pemilik hak terkait sebagai unsur penting dalam
pembangunan kreativitas nasional. Teringkarinya hak ekonomi dan hak moral dapat
mengikis motivasi para pencipta dan pemilik hak terkait untuk berkreasi.
Hilangnya motivasi seperti ini akan berdampak luas pada runtuhnya kreativitas
makro bangsa Indonesia. Bercermin kepada negara-negara maju tampak bahwa
pelindungan yang memadai terhadap hak cipta telah berhasil membawa pertumbuhan
ekonomi kreatif secara signifikan dan memberikan kontribusi nyata bagi
perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
UU Hak Cipta harus menjadi koreksi
terhadap kelemahan sistem hukum pelindungan terhadap pencipta, pemegang hak
cipta, dan pemilik hak terkait. UU Hak Cipta harus menjadi hukum yang
pro-keadilan, yaitu hukum yang memberikan keadilan. Apabila dibandingkan dengan
pengaturan dalam UU No. 19 Tahun 2002, UU Hak Cipta telah memberikan
pelindungan hak yang lebih lengkap kepada pemilik hak terkait.
UU Hak Cipta telah memberikan pengaturan
atas hak ekonomi pemilik hak terkait. Pertama, bagi pelaku pertunjukan. UU Hak
Cipta mengatur pelaku pertunjukan memiliki hak moral dan hak ekonomi. Kedua,
produser fonogram atau produser rekaman. Berdasarkan UU Hak Cipta, produser
fonogram memiliki hak ekonomi. Berikutnya, lembaga penyiaran, lembaga penyiaran
mempunyai hak untuk memberi izin atau melarang dilakukan tindakan tertentu
misalnya penyiaran ulang siarannya, fiksasi siaran, reproduksi siaran,
menyampaikan kepada publik siaran televisi penyiar jika siaran ulang itu
ditujukan kepada publik yang dipungut bayaran untuk menyaksikan. Hak ini
kemudian dituangkan dalam UU Hak Cipta menjadi hak ekonomi lembaga penyiaran.
Berdasarkan penjelasan, UU Hak Cipta memberikan pengaturan hak pemilik terkait
yang lebih lengkap dibandingkan UU No. 19 Tahun 2002.
Pelindungan lain yang diberikan UU Hak
Cipta kepada pemilik hak terkait, yaitu pertama, pengaturan mengenai pencatatan
produk hak terkait. Hak Kekayaan Intelektual menyelenggarakan pendaftaran
ciptaan dan dicatat dalam Daftar Umum Ciptaan. Pelindungan suatu ciptaan
dimulai sejak ciptaan itu ada atau terwujud dan bukan karena pencatatan. Hal
ini berarti suatu ciptaan baik yang tercatat maupun tidak tercatat tetap
dilindungi. Keuntungan yang diperoleh dari pencatatan hak cipta atau hak
terkait dimaksudkan untuk membantu membuktikan kepemilikan karena seringkali
muncul kesulitan untuk membuktikan kepemilikan di pengadilan. Kemampuan untuk
membuktikan kepemilikan secara meyakinkan sangat menentukan dalam kasus hak
cipta di Indonesia.
Kedua, UU Hak Cipta mengatur pengguna
hak terkait yang memanfaatkan hak terkait harus membayar royalti kepada pemilik
hak terkait melalui LMK (Pasal 87 ayat (2) UU Hak Cipta). Pengguna hak terkait
harus membuat perjanjian dengan LMK yang berisi kewajiban untuk membayar
royalti atas hak cipta dan hak terkait yang digunakan. Secara regulasi, UU No. 19 Tahun 2002 tidak
mengatur mengenai LMK. Dalam hal ini, UU Hak Cipta berusaha menjadi hukum yang
progresif dengan mengkoreksi UU No. 19 Tahun 2002.
Ketiga, UU Hak Cipta mengatur secara
khusus LMK Hak Cipta di bidang lagu atau musik. LMK tersebut memiliki
kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari
pengguna yang bersifat komersial. Dalam melakukan penghimpunan royalti dari
pengguna LMK wajib melakukan koordinasi dan menetapkan besaran royalti yang
menjadi hak masing-masing LMK dimaksud sesuai dengan kelaziman dalam praktik
berdasarkan keadilan.
Keempat, UU Hak Cipta memberikan ancaman
pidana pelanggaran terhadap hak ekonomi pemilik hak terkait sebagaimana diatur
dalam Pasal 116 hingga Pasal 118 UU Hak Cipta. Pidana yang diancamkan berupa
pidana denda dan pidana penjara. Secara psikologis diterapkannya penerapan
kedua bentuk pidana ini adalah untuk memberikan rasa takut yang luar biasa bagi
masyarakat untuk melakukan pelanggaran hak terkait.
Kesimpulan
UU
Hak Cipta merupakan upaya dari negara untuk melindungi hak moral dan hak
ekonomi pemilik hak terkait sebagai unsur penting dalam pembangunan kreativitas
nasional. Yang merupakan pemilik hak terkait adalah pelaku pertunjukan,
produser rekaman atau produser fonogram, dan lembaga penyiaran. Pelaku
pertunjukan memiliki hak moral dan hak ekonomi.
UU Hak Cipta harus menjadi hukum yang
pro-keadilan, yaitu hukum yang memberikan keadilan. Apabila dibandingkan dengan
pengaturan dalam UU No. 19 Tahun 2002, UU Hak Cipta telah memberikan
pelindungan hak yang lebih lengkap kepada pemilik hak terkait.
UU Hak Cipta telah memberikan pengaturan
atas hak ekonomi pemilik hak terkait. Pertama, bagi pelaku pertunjukan. Kedua,
produser fonogram atau produser rekaman. Berikutnya, lembaga penyiaran. UU Hak
Cipta memberikan pengaturan hak pemilik terkait yang lebih lengkap dibandingkan
UU No. 19 Tahun 2002.
Pelindungan lain yang diberikan UU Hak
Cipta kepada pemilik hak terkait, yaitu pertama, pengaturan mengenai pencatatan
produk hak terkait. Kedua, UU Hak Cipta mengatur pengguna hak terkait yang
memanfaatkan hak terkait harus membayar royalti kepada pemilik hak terkait
melalui LMK. Ketiga, UU Hak Cipta mengatur secara khusus LMK Hak Cipta di
bidang lagu atau musik. Keempat, UU Hak Cipta memberikan ancaman pidana
pelanggaran terhadap hak ekonomi pemilik hak terkait.
Dari analisa di atas menunjukkan UU Hak
Cipta telah memberikan berbagai pengaturan sebagai bentuk pelindungan terhadap
hak ekonomi yang dimiliki oleh pemilik hak terkait. Pengaturan yang
komprehensif ini bertujuan untuk menjadikan UU Hak Cipta sebagai hukum yang
progresif yang mengantarkan kepada kehidupan yang adil, sejahtera, dan bahagia
bagi pemilik hak terkait melalui pemenuhan hak ekonomi pemilik hak terkait.
Saran
Dalam
rangka mengefektifkan pelaksanaan UU Hak Cipta maka pelindungan yang telah
diberikan dalam UU Hak Cipta harus diikuti dengan penegakan hukum secara
konsisten oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam UU Hak Cipta
demi kepentingan pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sumber: Jurnal Monika Suhayati